Adzan bagaikan jarum jam yang senantiasa berputar dan bergerak tanpa
henti. Ia hanya akan berhenti bergema bila Allah menghendakinya. Seluruh
umat Islam tentu mengenal kata adzan, yaitu kalimat tauhid yang
dilantunkan seorang muazin untuk memanggil kaum Muslim agar segera
bersujud kepada Allah SWT.
Sedikitnya, ia dilantunkan lima kali dalam sehari semalam, yakni sejak
terbit fajar di waktu Subuh, kemudian siang hari (Zhuhur), lalu
dilanjutkan pada sepertiga hari (Ashar), kemudian mulai tenggelamnya
matahari di ufuk barat, hingga menjelang malam. Begitu seterusnya,
sepanjang hari, setiap saat.
Dalam sejarahnya, azan pertama kali disyariatkan pada tahun kedua hijriyah setelah Rasulullah SAW hijrah dari Makkah ke Madinah. Ketika itu, sahabat Rasulullah, Bilal bin Rabah, menjadi muazin pertama yang mengumandangkan azan untuk memanggil umat Islam, pertanda waktu shalat telah tiba. Dari situlah, akhirnya azan dijadikan syariat bagi umat Islam di seluruh dunia untuk memanggil umat Islam agar melaksanakan shalat.
Sebelum adzan disyariatkan, sejumlah sahabat mengusulkan beberapa simbol untuk memanggil orang agar melaksanakan shalat. Di antaranya, dengan menggunakan bendera, terompet, lonceng, dan api. Namun, usulan ini ditolak Rasul dengan alasan hal itu menyerupai kelompok agama tertentu. Misalnya, terompet biasa digunakan kaum Yahudi, lonceng oleh kelompok Nasrani, dan api oleh kaum Majusi. Karena itu, akhirnya adzan dengan kalimat tauhid menjadi alat untuk memanggil umat Islam agar melaksanakan shalat.
Panggilan adzan ini ternyata sangat luar biasa. Ia penuh dengan fenomena yang sangat menarik. Adzan yang dilantunkan dari satu surau ke surau yang lain, dari satu masjid ke masjid lain, ternyata terus berlanjut hingga ke berbagai daerah dan negara. Ia bergerak dari timur ke barat, utara selatan, dan terus berputar tak pernah berhenti. Adzan selalu sahut-menyahut dari satu tempat ke tempat lain.
Perbedaan waktu antara satu daerah dan daerah lain, dari satu negara ke negara lain, memberi manfaat yang sangat besar. Wilayah Indonesia yang terbagi dalam tiga perbedaan waktu dan terdiri atas ribuan pulau membuat adzan bergerak dari ujung timur Papua hingga Sabang di Aceh.
Ketika pukul 12.00 adzan Zuhur berkumandang di wilayah Indonesia bagian Timur yang diawali dari Papua, ia kemudian bergerak perlahan ke daerah sekitarnya hingga melebar sampai Pulau Maluku dan Sulawesi.
Selanjutnya, adzan berkumandang di Makassar, ia akan segera disambut di wilayah Flores, Mataram, Lombok, dan Denpasar, kemudian Balikpapan, Tarakan, Samarinda, dan Banjarmasin.
Belum selesai adzan didengungkan di kepulauan Kalimantan, ia akan segera disambut adzan di Banyuwangi hingga Surabaya. Terus bergerak hingga sampai di Jakarta. Selanjutnya, ia makin meluas hingga Aceh.
Sebelum adzan berakhir di Indonesia, ia sudah berkumandang di Malaysia. Dalam beberapa waktu kemudian, adzan mencapai New Delhi (India) dan Dacca, Bangladesh.
Begitu adzan berakhir di Bangladesh, ia telah dikumandangkan di barat India, dari Kalkuta ke Srinagar. Kemudian, terus menuju Bombay dan seluruh kawasan India.
Dari Srinagar, adzan bergerak makin ke barat hingga Timur Tengah, Afrika, Eropa, dan Amerika dalam hitungan jam. Karena itu, kumandang keesaan Allah SWT yang dimulai dari bagian timur pulau Indonesia itu tiba di pantai timur Samudra Atlantik setelah sembilan setengah jam.
Sebelum mencapai pantai Atlantik, adzan Isya sudah mulai berkumandang lagi di kepulauan Nusantara dan bergerak lagi hingga ke arah barat. Begitu terus-menerus, tak pernah berhenti. Inilah fenomena adzan. Ia akan terus bergerak hingga hari kiamat tiba. Dari satu tempat menuju tempat lainnya secara estafet, ia memberikan makna bahwa selama bumi ini berputar, kalimat Allah senantiasa berkumandang di angkasa raya.
Keajaiban adzan
Tak hanya fenomena, lafal adzan yang berisi kalimat tauhid mampu menggugah sebagian pendengarnya. Dengan suara yang merdu, jernih, dan penuh penghayatan, adzan mampu memberi hikmah dan hidayah bagi sekelompok orang. Beberapa di antaranya bahkan masuk Islam karena seringnya mendengar adzan. Tak hanya terbatas pada waktu dan kondisi tertentu, seseorang yang dibukakan hidayah hatinya oleh Allah bisa mendengarkan suara adzan kendati berada di atas ketinggian.
Itulah yang dialami Yenni Farida. Ia justru mendengar seruan adzan saat berada di atas pesawat pada ketinggian sekitar 3000-3600 kaki dari permukaan laut. Konon, Neil Armstrong pernah mendengar kalimat serupa ketika sedang berada di bulan. Namun, kebenaran Neil Armstrong ini masih banyak diperdebatkan khalayak.
Tak hanya mereka, Wahyu Soeparno Putro dan Cicha Koeswoyo akhirnya memeluk Islam karena mendengar kesyahduan dan kerinduan hatinya pada kalimat tauhid itu. Bahkan, banyak mualaf lainnya yang juga akhirnya memeluk agama Islam dari adzan. Inilah keajaiban adzan, kalimat tauhid, penyeru umat untuk segera melaksanakan shalat.
Namun demikian, ternyata ada sekelompok orang yang 'rupanya kurang senang' dengan seruan adzan ini. Bahkan, tak jarang ada yang marah dan menggugat lantunan adzan yang diperdengarkan dari pengeras suara yang terdapat di menara-menara masjid, mushala, atau lainnya. Mereka merasa terusik dengan lantunan tauhid tersebut. Bahkan, hanya gara-gara pengeras suara yang mereka anggap berlebihan akhirnya merusak silaturahim di antara umat.
Itulah yang pernah dikemukakan seorang menteri di Maroko yang meminta masjid-masjid di negara Muslim itu untuk mengatur waktu kumandang adzan. Menurut menteri perempuan yang bernama Nazha Shaqli itu, adzan yang dikumandangkan saat waktu istirahat (Subuh) mengganggu para wisatawan. Namun, permintaan itu ditolak menteri wakaf Maroko yang menyatakan bahwa hal itu merupakan kewajiban bagi umat Islam untuk memanggil saudaranya agar segera mengerjakan shalat.
''Hanya orang-orang yang telah ditutup telinganya oleh Allah yang merasa terganggu. Apalagi, perbedaan waktu antara satu daerah dan daerah lain tentu tidak memungkinkan adzan dikumandangkan secara bersamaan,'' terang Ahmad Taufik yang menjabat sebagai menteri wakaf dan agama, Maroko.
Di Indonesia pun terjadi hal serupa. Sekelompok umat Islam yang tinggal di sekitar masjid dan mushala juga ada yang merasa terganggu dengan lantunan kalimat tauhid yang diserukan oleh muazin melalui pengeras suara di masjid dan mushala.
Dalam sejarahnya, azan pertama kali disyariatkan pada tahun kedua hijriyah setelah Rasulullah SAW hijrah dari Makkah ke Madinah. Ketika itu, sahabat Rasulullah, Bilal bin Rabah, menjadi muazin pertama yang mengumandangkan azan untuk memanggil umat Islam, pertanda waktu shalat telah tiba. Dari situlah, akhirnya azan dijadikan syariat bagi umat Islam di seluruh dunia untuk memanggil umat Islam agar melaksanakan shalat.
Sebelum adzan disyariatkan, sejumlah sahabat mengusulkan beberapa simbol untuk memanggil orang agar melaksanakan shalat. Di antaranya, dengan menggunakan bendera, terompet, lonceng, dan api. Namun, usulan ini ditolak Rasul dengan alasan hal itu menyerupai kelompok agama tertentu. Misalnya, terompet biasa digunakan kaum Yahudi, lonceng oleh kelompok Nasrani, dan api oleh kaum Majusi. Karena itu, akhirnya adzan dengan kalimat tauhid menjadi alat untuk memanggil umat Islam agar melaksanakan shalat.
Panggilan adzan ini ternyata sangat luar biasa. Ia penuh dengan fenomena yang sangat menarik. Adzan yang dilantunkan dari satu surau ke surau yang lain, dari satu masjid ke masjid lain, ternyata terus berlanjut hingga ke berbagai daerah dan negara. Ia bergerak dari timur ke barat, utara selatan, dan terus berputar tak pernah berhenti. Adzan selalu sahut-menyahut dari satu tempat ke tempat lain.
Perbedaan waktu antara satu daerah dan daerah lain, dari satu negara ke negara lain, memberi manfaat yang sangat besar. Wilayah Indonesia yang terbagi dalam tiga perbedaan waktu dan terdiri atas ribuan pulau membuat adzan bergerak dari ujung timur Papua hingga Sabang di Aceh.
Ketika pukul 12.00 adzan Zuhur berkumandang di wilayah Indonesia bagian Timur yang diawali dari Papua, ia kemudian bergerak perlahan ke daerah sekitarnya hingga melebar sampai Pulau Maluku dan Sulawesi.
Selanjutnya, adzan berkumandang di Makassar, ia akan segera disambut di wilayah Flores, Mataram, Lombok, dan Denpasar, kemudian Balikpapan, Tarakan, Samarinda, dan Banjarmasin.
Belum selesai adzan didengungkan di kepulauan Kalimantan, ia akan segera disambut adzan di Banyuwangi hingga Surabaya. Terus bergerak hingga sampai di Jakarta. Selanjutnya, ia makin meluas hingga Aceh.
Sebelum adzan berakhir di Indonesia, ia sudah berkumandang di Malaysia. Dalam beberapa waktu kemudian, adzan mencapai New Delhi (India) dan Dacca, Bangladesh.
Begitu adzan berakhir di Bangladesh, ia telah dikumandangkan di barat India, dari Kalkuta ke Srinagar. Kemudian, terus menuju Bombay dan seluruh kawasan India.
Dari Srinagar, adzan bergerak makin ke barat hingga Timur Tengah, Afrika, Eropa, dan Amerika dalam hitungan jam. Karena itu, kumandang keesaan Allah SWT yang dimulai dari bagian timur pulau Indonesia itu tiba di pantai timur Samudra Atlantik setelah sembilan setengah jam.
Sebelum mencapai pantai Atlantik, adzan Isya sudah mulai berkumandang lagi di kepulauan Nusantara dan bergerak lagi hingga ke arah barat. Begitu terus-menerus, tak pernah berhenti. Inilah fenomena adzan. Ia akan terus bergerak hingga hari kiamat tiba. Dari satu tempat menuju tempat lainnya secara estafet, ia memberikan makna bahwa selama bumi ini berputar, kalimat Allah senantiasa berkumandang di angkasa raya.
Keajaiban adzan
Tak hanya fenomena, lafal adzan yang berisi kalimat tauhid mampu menggugah sebagian pendengarnya. Dengan suara yang merdu, jernih, dan penuh penghayatan, adzan mampu memberi hikmah dan hidayah bagi sekelompok orang. Beberapa di antaranya bahkan masuk Islam karena seringnya mendengar adzan. Tak hanya terbatas pada waktu dan kondisi tertentu, seseorang yang dibukakan hidayah hatinya oleh Allah bisa mendengarkan suara adzan kendati berada di atas ketinggian.
Itulah yang dialami Yenni Farida. Ia justru mendengar seruan adzan saat berada di atas pesawat pada ketinggian sekitar 3000-3600 kaki dari permukaan laut. Konon, Neil Armstrong pernah mendengar kalimat serupa ketika sedang berada di bulan. Namun, kebenaran Neil Armstrong ini masih banyak diperdebatkan khalayak.
Tak hanya mereka, Wahyu Soeparno Putro dan Cicha Koeswoyo akhirnya memeluk Islam karena mendengar kesyahduan dan kerinduan hatinya pada kalimat tauhid itu. Bahkan, banyak mualaf lainnya yang juga akhirnya memeluk agama Islam dari adzan. Inilah keajaiban adzan, kalimat tauhid, penyeru umat untuk segera melaksanakan shalat.
Namun demikian, ternyata ada sekelompok orang yang 'rupanya kurang senang' dengan seruan adzan ini. Bahkan, tak jarang ada yang marah dan menggugat lantunan adzan yang diperdengarkan dari pengeras suara yang terdapat di menara-menara masjid, mushala, atau lainnya. Mereka merasa terusik dengan lantunan tauhid tersebut. Bahkan, hanya gara-gara pengeras suara yang mereka anggap berlebihan akhirnya merusak silaturahim di antara umat.
Itulah yang pernah dikemukakan seorang menteri di Maroko yang meminta masjid-masjid di negara Muslim itu untuk mengatur waktu kumandang adzan. Menurut menteri perempuan yang bernama Nazha Shaqli itu, adzan yang dikumandangkan saat waktu istirahat (Subuh) mengganggu para wisatawan. Namun, permintaan itu ditolak menteri wakaf Maroko yang menyatakan bahwa hal itu merupakan kewajiban bagi umat Islam untuk memanggil saudaranya agar segera mengerjakan shalat.
''Hanya orang-orang yang telah ditutup telinganya oleh Allah yang merasa terganggu. Apalagi, perbedaan waktu antara satu daerah dan daerah lain tentu tidak memungkinkan adzan dikumandangkan secara bersamaan,'' terang Ahmad Taufik yang menjabat sebagai menteri wakaf dan agama, Maroko.
Di Indonesia pun terjadi hal serupa. Sekelompok umat Islam yang tinggal di sekitar masjid dan mushala juga ada yang merasa terganggu dengan lantunan kalimat tauhid yang diserukan oleh muazin melalui pengeras suara di masjid dan mushala.
Sebuah buku yang ditulis berdasarkan hasil diskusi kelompok anak muda
Muslim mengenai adzan dengan judul Islam tanpa TOA, seolah menyindir
para muazin yang melantunkan kalimat tauhid sebagai pertanda waktu
shalat.
Benarkah suara adzan yang dilantunkan melalui pengeras suara mengganggu istirahat warga? Bukankah sesuatu yang baik harus disampaikan dan diserukan? Kurang bijaksanakah ketika Rasulullah memerintahkan Bilal untuk mengumandangkan adzan di puncak menara untuk memanggil umat Islam agar segera shalat sehingga suaranya bisa terdengar di mana-mana?
Hanya orang-orang yang tertutup hatinya yang enggan menerima hidayah Allah. Mungkin, sangat tepat Allah berfirman bahwa mereka punya mata, namun tak pernah digunakan untuk melihat; punya telinga, namun tak mau mendengar; dan punya hati, namun hatinya telah tertutup. ''Mereka itu seperti binatang ternak, bahkan lebih sesat lagi.'' (Alfurqan ayat 44, Al-A'raf ayat 179, dan Albaqarah ayat 171). Na'udzubillah.
Semoga Allah membukakan pintu hati umat manusia sehingga lapang dada menerima firman-firman Allah. Wa Allahu A'lam.
Benarkah suara adzan yang dilantunkan melalui pengeras suara mengganggu istirahat warga? Bukankah sesuatu yang baik harus disampaikan dan diserukan? Kurang bijaksanakah ketika Rasulullah memerintahkan Bilal untuk mengumandangkan adzan di puncak menara untuk memanggil umat Islam agar segera shalat sehingga suaranya bisa terdengar di mana-mana?
Hanya orang-orang yang tertutup hatinya yang enggan menerima hidayah Allah. Mungkin, sangat tepat Allah berfirman bahwa mereka punya mata, namun tak pernah digunakan untuk melihat; punya telinga, namun tak mau mendengar; dan punya hati, namun hatinya telah tertutup. ''Mereka itu seperti binatang ternak, bahkan lebih sesat lagi.'' (Alfurqan ayat 44, Al-A'raf ayat 179, dan Albaqarah ayat 171). Na'udzubillah.
Semoga Allah membukakan pintu hati umat manusia sehingga lapang dada menerima firman-firman Allah. Wa Allahu A'lam.
sumber : http://thuluzzaman.blogspot.com/2010/03/adzan-menyeru-umat-untuk-bersujud-pada.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar